PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI WAHANA SISTEMIK
PENDIDIKAN DEMOKRASI
1.)
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pendidikan
kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara
substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas
dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu
sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan
nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di
sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah
satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program
pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam
bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4)
atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatun crash
program. Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual
dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka
berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status pertama, kedua,
ketiga, dan keempat. Dalam status pertama, yakni sebagai mata pelajaran di
sekolah, pendidikan kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang
fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas
menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat
kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi civics, pendidikan kewargaan
negara, dan pendidikan IPS.
Hal
itu tampak dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai.
Selanjutnya, dalam Kurikulum tahun 1975 untuk semua jenjang persekolahan yang
diberlakukan secara bertahap mulai tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada
tahun 1984, sebagai pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara mulai
diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan
materi dan pengalaman belajar mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4) atau "Eka Prasetia Pancakarsa". Perubahan itu
dilakukan untuk mewadahi missi pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR
No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4
(Depdikbud:1975a, 1975b, 1975c). Mata pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai
dari kelas I SD s/d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberadaannya terus
dipertahankan dalam Kurikulum tahun 1984, yang pada dasarnya merupakan
penyempurnaan Kurikulum tahun 1975. Di dalam Undang-Undang No 2/1989 tentang
Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang antara lain Pasal 39,
menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai
bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun 1994 diperkenalkan mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang berisikan materi
dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas
dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Bila
dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih
dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran yang digunakan untuk mata
pelajaran Civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif
hampir empat dasawarsa (1962-1998) itu, menunjukkan indikator telah terjadinya
ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah
terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional
kurikuler.
Krisis
atau dislocation menurut pengertian Kuhn (1970) yang bersifat konseptual
tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti: civics tahun 1962 yang
tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsur dari
pendidikan kewargaan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial;
PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan
MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975
dan 1984 yang tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994
sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang
tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila
dan P4. Krisis operasional tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format
buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang
belum banyak bergeser dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan
konsep. Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih tetap
diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya
pelaksanaan metode pembelajaran serta secara konseptual, karena belum adanya
suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajek diterima dan
dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional. Kini pada
era reformasi pasca jatuhnya sistem politik Orde Baru yang diikuti dengan
tumbuhnya komitmen baru kearah perwujudan cita-cita dan nilai demokrasi
konstitusional yang lebih murni, keberadaan dan jati diri mata pelajaran PPKn
kembali dipertanyakan secara kritis. Dalam status kedua, yakni sebagai mata
kuliah umum (MKU) pendidikan kewarganegaraan diwadahi oleh mata kuliah
Pancasila dan Kewiraan. Mata kuliah Pancasila bertujuan untuk mengembangkan
wawasan mahasiswa mengenai Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup
bangsa Indonesia, sedangkan kewiraan, yang mulai tahun 2000 namanya berubah
menjadi Pendidikan Kewarganegaran, bertujuan untuk mengembangkan wawasan
mahasiswa tentang makna pendidikan bela negara sebagai salah satu kewajiban
warganegara sesuai dengan Pasal 30 UUD 1945.
Kedua
mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang wajib diikuti oleh seluruh
mahasiswa, yang mulai tahun 2000 disebut sebagai Mata Kuliah Pembinaan
Kepribadian atau MKPK. Dalam status ketiga, yakni sebagai pendidikan disiplin
ilmu (Somantri:1998), pendidikan kewarganegaraan merupakan program pendidikan
disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan di LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP) Jurusan atau Program Studi Civics
dan Hukum pada tahun 1960-an, atau Pendidikan Moral Pancasila dan
Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini. Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata
kuliah pendidikan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada
dasarnya merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang
pendidikan kewarganegaraan. Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini
memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai
substansi induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada
pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan
kewarganegaraan. Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan tinggi
keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cenderung lebih terpusat
pada profesionalisme guru. Sementara itu riset dan pengembangan epistemologi
pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu sistem pengetahuan, belum banyak
mendapatkan perhatian. Dalam status keempat, yakni sebagai crash program
pendidikan politik bagi seluruh lapisan masyarakat, Penataran P-4 mulai dari
Pola 25 jam sampai dengan Pola 100 jam untuk para Manggala yang telah berjalan
hampir 20 tahun dengan Badan Pembina Pelaksanaan Pendidikan P-4 atau BP7 Pusat
dan Propinsi sebagai pengelolanya, dapat dianggap sebagai suatu bentuk
pendidikan kewarganegaraan yang bersifat non-formal.
Seiring
dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi melalui gerakan reformasi
baru-baru ini, dan juga dilandasi oleh berbagai kenyataan sudah begitu maraknya
korupsi, kolusi, dan nepotisme selama masa Orde Baru, tidak dapat dielakkan
tudingan pun sampai pada Penataran P-4 yang dianggap tidak banyak membawa
dampak positif, baik terhadap tingkat kematangan berdemokrasi dari warganegara,
maupun terhadap pertumbuhan kehidupan demokrasi di Indonesia. Sebagai
implikasinya, sejalan dengan jiwa dan semangat Ketetapan MPR Nomor
XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan
Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, kini semua bentuk
penataran P-4 telah dibekukan, dan pada tanggal 30 April 1999 BP7 secara resmi
dilikuidasi.
Kini
tumbuh kebutuhan baru untuk mencari bentuk pendidikan politik dalam bentuk
pendidikan kewarganegaraan yang lebih cocok untuk latar pendidikan non formal,
yang diharapkan benar-benar dapat meningkatkan kedewasaan seluruh warganegara
yang mampu berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan cita-cita, nilai dan
prinsip demokrasi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas kehidupan
demokrasi di Indonesia. Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan adanya sistem
pendidikan demokrasi untuk seluruh lapisan masyarakat, terasa menjadi sangat
mendesak.Dalam status kelima, yakni sebagai suatu kerangka konseptual sistemik
pendidikan kewarganegaraan terkesan masih belum solid karena memang riset dan
pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan belum berjalan secara
institusional, sistematis dan sistemik. Paradigma pendidikan kewarganegaraan
yang kini ada kelihatannya masih belum sinergistik. Kerangka acuan teoritik yang
menjadi titik tolak untuk merancang dan melaksanakan pendidikan kewarganegaraan
dalam masing-masing statusnya sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah,
atau sebagai program pendidikan disiplin ilmu dan program guru, atau sebagai
pendidikan politik untuk masyarakat mengesankan satu sama lain tidak saling
mendukung secara komprehensif. Sebagai akibatnya, program pendidikan
kewarganegaraan di sekolah, di lembaga pendidikan guru, dan di masyarakat
terkesan belum sepenuhnya saling mendukung secara sistemik dan sinergistik.
1.2. Perumusan Masalah
Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan dirasakan: rentan terhadap pengaruh perubahan
dalam kehidupan politik, tidakajek dalam sistem kurikulum dan pembelajarannya;
pendidikan gurunya yang cenderung terlalu memihak pada tuntutan
formal-kurikuler di sekolah dan kurang memperhatikan pengembangan pendidikan
kewarganegaraan sebagai bidang kajian pendidikan disiplin ilmu, epistemologi
pendidikan kewarganegaraan tidak berkembang dengan pesat; pembelajaran sosial
nilai Pancasila yang cenderung berubah peran dan fungsi menjadi proses
indoktrinasi ideologi negara, tidak kokohnya dan tidak koherennya landasan
ilmiah pendidikan kewarganegaraan sebagai program pendidikan demokrasi.
2.) Kajian Literatur
Ada
beberapa konsep yang dikaji, yakni jatidiri, pendidikan kewarganegaraan, wahana
sistemik, dan pendidikan demokrasi. Istilah jatidiri diadaptasi dari
characteristic dalam bahasa Inggris, yang memiliki sinonim paling dekat dengan
individuality, specialty, attribute, feature, character (Devlin:1961), yang
dapat diartikan secara bebas sebagai ciri khas atau atribut. Dalam artikel ini
jatidiri dimaksudkan sebagai ciri khas atau atribut konseptual dan empirik dari
pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana sistemik pendidikan demokrasi. Dalam
kepustakaan asing ada dua istilah teknis yang dapat diterjemahkan menjadi
pendidikan kewargnegaraan yakni civic education dan citizenship Education.
Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai "...the foundational
course work in school designed to prepare young citizens for an active role in
their communities in their adult lives". Atau suatu mata pelajaran dasar
di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak
setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Sedangkan citizenship
education atau education for citizenship oleh Cogan (1999:4) digunakan sebagai
istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup "...both
these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning
which takes place in the family, the religious organization, community
organizations, the media,etc which help to shape the totality of the
citizen".
Dalam
tulisan ini istilah pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya digunakan dalam
pengertian yang luas seperti "citizenship education" atau
"education for citizenship" yang mencakup pendidikan kewarganegaraan
di dalam lembaga pendidikan formal (dalam hal ini di sekolah dan dalam program
pendidikan guru) dan di luar sekolah baik yang berupa program penataran atau
program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari
program lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan
sebagai warganegara Indonesia yang cerdas dan baik. Di samping itu, juga konsep
pendidikan kewarganegaraan digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah
yang melandasi dan sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaran sebagai program
pendidikan demokrasi.Kata sistem diserap dari Bahasa Inggris system, yang
secara harfiah artinya "susunan" (Echols dan Shadily,1975:575).
Sedangkan menurut Hornby, Gatenby, dan Wakefield (1962:1024) system diartikan
sebagai group of things or parts working together in a regular relation atau
kelompok benda-benda atau hal-hal atau bagian-bagian yang bekerjasama dalam
suatu hubungan yang teratur. Pengertian yang lebih lengkap tentang sistem
diberikan oleh Rahmat (1995:336) sebagai berikut:
- 1). Gabungan hal-hal yang disatukan kedalam sebuah kesatuan
yang konsisten dengan kesalinghubungan (interaksi, interdependensi, interrelasi)
yang teratur dari bagian-bagiannya.
- 2). Gabungan hal-hal (obyek-obyek, ide-ide, kaidah-kaidah,
aksioma-aksioma,dll) yang disusun dalam sebuah aturan yang koheren
(subordinasi, atau inferensi, atau generalisasi,dll) menurut beberapa
prinsip (atau rencana, atau rancangan, atau metode) rasional atau yang
dapat dipahami" Dalam pengertian seperti dikutip itulah penulis
mengartikan sistem. Selanjutnya, yang dimaksud dengan konteks keilmuan
adalah keterpaduan dari unsur-unsur kerangka konseptual pendidikan
kewarganegaraan dalam arti luas. Konsep keterpaduan itu sendiri merupakan
terjemahan dari istilah integrated, seperti dalam konsep integrated social
studies (Dufty:1970, Taba:1971), yang kemudian diterjemahkan menjadi IPS
Terpadu. Dengan merujuk kepada pengertian masing-masing istilah seperti
telah dibahas di muka dan konsep keterpaduan pengetahuan atau integrated
knowledge system menurut Hartoonian (1992), maka konsep kerangka
konseptual konteks keilmuan yang digunakan diartikan sebagai tatanan
pengetahuan yang terstruktur secara paradigmatik, yang obyek telaahnya
disikapi sebagai suatu kesatuan garis berpikir dan metode kerjanya
bersifat sistemik (kesatuan yang bersifat multidimensional) dan
kemanfaatannya menyangkut banyak hal yang satu sama lain saling
berkaitan.Pendidikan demokrasi yang kini dengan tegas diterima sebagai
esensi pendidikan kewarganegaraan (CICED:1999), dalam Kurikulum 1994
merupakan bagian integral dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
yang dibingkai menjadi satu dengan nilai-nilai masing-masing sila sebagai
intinya dalam kedudukan yang setara dan interaktif. Dengan paradigma yang
ada itu maka secara substantif di dalam pendidikan kewarganegaraan
terkandung makna pendidikan Pancasila, dalam arti berlandaskan dan
berorientasi pada cita-cita dan nilai yang secara koheren dan sistemik
terkandung dalam Pancasila. Dewasa ini tumbuh gagasan yang kuat untuk
menempatkan pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana utama dan esensi
dari pendidikan demokrasi, sebagaimana telah menjadi salah satu kesimpulan
dari Conference on Civic Education for Civil Society (CICED:1999).
Berkaitan dengan hal itu Sudarsono (1999) menegaskan bahwa “the ideals and
values of democracy and their implementations in daily activities at micro
as well as macro levels can be regarded as the heart of civil society”.
Oleh karena itu, lebih lanjut ditekankan bahwa “...democratic living
should be fostered in order that we should be able to establish a good
Indonnesian civil society”, dan untuk itulah, ditegaskan lebih jauh lagi
bahwa “... the existing civic education both for schools and for society
should be reassessed and redesigned”. (Sudarsono:1999). Dari situ dengan
tegas tampak adanya kecenderungan yang kuat untuk menempatkan pendidikan
demokrasi sebagai intinya dari pendidikan kewarganegaraan. Dengan
menggunakan kerangka berpikir itu, maka konsep pendidikan demokrasi
diartikan sebagai tatanan konseptual yang menggambarkan keseluruhan upaya
sistematis dan sistemik untuk mengembangkan cita-cita, nilai, prinsip, dan
pola prilaku demokrasi dalam diri individu warganegara, dalam tatanan
iklim yang demokratis, sehingga pada giliranya kelak secara bersama-sama
dapat memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani Indonesia
yang demokratis. Paradigma ini dijiwai oleh ethos baru pendidikan
demokrasi “eduction about democracy, through democracy, and for democracy”
(CIVITAS International,1998; QCA;1999; CICED;1999; dan APCEC:2000;
IEA-CEP;2000).
3.)
Metodologi
3.1. Obyek Telaah
Obyek telaah ada dua hal: (1) Pemikiran
tentang social studies, citizenship education, civic education secara umum dan
pendidikan kewarganegaraan serta pendidikan ilmu pengetahuan sosial secara
khusus, (2)Praksis penyelenggaraan social studies, citizenship education, civic
education secara umum; pendidikan kewarganegaraan di sekolah dan di LPTK secara
khusus; dan dalam site of citizenship di negara lain dan di Indonesia.
3.2. Pendekatan Dan Metode
Sesuai Dengan Hakikat Dan Karakteristik
Obyek TelaahnyaPada dasarnya penelitian itu diterapkan pendekatan eklektrik,
yakni kombinasi pendekatan kualitatif (utama) dan kuantitatif (pendukung), yang
dikemas dalam suatu survey khusus untuk secara kualitatif menggali, mengkaji,
memilih, dan mengorganisasikan berbagai pemikiran dan praksis citizenship
education, civic education, social studies secara umum, dan pendidikan IPS dan
PPKn secara khusus, beserta konteksnya, yang telah terdokumentasikan. Untuk
mendapatkan data dan informasi digunakan teknik Studi Dokumentasi, Komunikasi
interpersonal melalui diskusi (focus discussion).
3.3. Asumsi Dan Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini bertolak dari beberapa a
sumsi sebagai berikut :
(1) Belum adanya paradigma yang utuh
tentang pendidikan kewarganegaraan yang dapat dijadikan kerangka dasar dan
sekaligus sebagai rujukan konseptual dan operasional bagi semua bentuk program
tersebut.
(2) Kini telah tumbuh kesadaran, semangat
dan komitment untuk menemukan kembali dan merevitalisasi pendidikan
kewarganegaraan sebagai sistem pendidikan demokrasi. Dalam penelitian itu
dirumuskan pertanyaan penelitian. Bagaimana profil konseptual sistemik
pendidikan kewarganegaraan dilihat dari berbagai pemikiran para teoritisi dan
persepsi praktisi pendidikanm kewarganegaraan?
4. Hasil Dan Bahasan
4.1. Istilah Teknis
Ada tiga istilah teknis yang banyak
digunakan, yakni civics, civic education, dan citizenship education. Istilah
civics merupakan istilah yang paling tua sejak digunakan pertama kalinya oleh
Chreshore pada tahun 1886 dalam Somantri (1969) untuk menunjukkan the science
of citizenship yang isinya antara lain mempelajari hubungan antarwarganegara
dan hubungan antara warganegara dengan negara. Saat ini istilah itu masih
dipakai sebagai nama mata pelajaran yang berdiri sendiri atau terintegrasi
dalam kurikulum sekolah dasar di Perancis dan Singapura; dan dalam kurikulum
sekolah lanjutan di Perancis, Italia, Hongaria, Jepang, Netherlands, Singapura,
Spanyol, dan USA (Kerr,1999). Di Indonesia istilah civics pernah digunakan
dalam kurikulum SMP dan SMA tahun 1962, kurikulum SD tahun 1968, dan kurikulum
PPSP IKIP Bandung tahun 1973. Mulai pada tahun 1900-an di USA diperkenalkan
istilah citizenship education dan civic education yang digunakan secara
bertukar-pakai, untuk menunjukkan program pendidikan karakter, etika dan
kebajikan (Best:1960) atau pengembangan fungsi dan peran politik dari
warganegara dan pengembangan kualitas pribadi (Somantri 1969).
Sedangkan Allen (1960) dan NCSS
(Somantri:1972) menggunakan istilah citizenship education dalam arti yang lebih
luas, yakni sebagai produk keseluruhan program pendidikan atau all positive
influences yang datang dari proses pendidikan formal dan informal. Kini istilah
civic education lebih banyak digunakan di USA serta beberapa negara baru di
Eropa timur yang mendapat pembinaan profesional dari Center for Civic Education
dan Universitas mitra kerjanya di USA, untuk menunjukkan suatu program
pendidikan di sekolah yang terintegrasi atau suatu mata pelajaran yang berdiri
sendiri. Sedangkan di Indonesia istilah civic education masih dipakai untuk
label mata kuliah di Jurusan atau Progran Studi PPKN dan nama LSM Center for
Indonesian Civic Education. Istilah civic education cenderung digunakan secara
spesifik sebagai mata pelajaran dalam konteks pendidikan formal. Sedangkan
istilah citizenship education cenderung digunakan dalam dua pengertian.
Pertama, digunakan di UK dalam pengertian yang lebih luas sebagai overarching
concept yang di dalamnya termasuk civic education sebagai unsur utama
(Cogan,1999; Kerr: 1999; dan QCA:1999) disamping program pendidikaan kewarganegaraan
di luar pendidikan formal seperti site of citizenship atau situs
kewarganegaraan, seperti juga dikonsepsikan sebelum itu oleh Alleh (1962) dan
NCSS (1972). Kedua, digunakan di USA, terutama oleh NCSS, dalam pengertian
sebagai the essence or core atau inti dari social studies (Barr dkk:1978;
NCSS:1985;1994). Di Indonesia istilah citizenship education belum pernah
digunakan dalam tataran formal instrumentasi pendidikan, kecuali sebagai wacana
akademis di kalangan komunitas ilmiah pendidikan IPS. Yang konsisten
menggunakan istilah citizenship education atau education for citizenship adalah
UK. Sedangkan negara lain yang diketahui menggunakannya secara adaptif adalah
Netherlands. Sebagai batasan penulis menerjemahkan civic education dan citizenship
education ke dalam istilah yang sama namun berbeda dalam cara penulisannya.
Istilah civic education diterjemahkan
menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (memakai huruf besar di awal) dan
citizenship education diterjemahkan menjadi pendidikan kewarganegaraan (semuanya
dengan huruf kecil). Istilah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menunjuk pada
suatu mata pelajaran, sedangkan pendidikan kewarganegaraan (PKn) menunjuk pada
kerangka konseptual sistemik program pendidikan untuk kewarganegaraan yang
demokratis. Konsep pendidikan kewarganegaraan disebut juga sistem pendidikan
kewarganegaraan (spkn/SPKn) yang dapat ditulis dengan semuanya huruf besar atau
huruf kecil.
4.2. Visi Secara Paradigmatik
Citizenship education memiliki visi
sosio-pedagogis mendidik warganegara ang demokratis dalam konteks yang lebih
luas, yang mencakup konteks pendidikan formal dan pendidikan non-formal,
seperti yang secara konsisten diterapkan di UK (QCA:1998; Kerr:1999). dangkan
civic education secara umum memiliki visi formal-pedagogis untuk mendidik
arganegara yang demokratis dalam konteks pendidikan formal, seperti secara
adaptif diterapkan di USA (CCE:1996). i Indonesia, yakni PPKn memiliki visi
formal-pedagogis sebagai mata pelajaran sosial di sekolah dan perguruan tinggi
sebagai wahana pendidikan nilai Pancasila.Bertolak dari kajian teoritik dan
diskusi reflektif, dirumuskan visi pendidikan kewarganegaraan” dalam arti luas,
yakni sebagai sistem pendidikan kewarganegaraan agar berfungsi dan berperan
sebagai :
(1) Program kurikuler dalam konteks
pendidikan formal dan non-formal,
(2) Program aksi sosial-kultural dalam
konteks kemasyarakatan, dan
(3) Sebagai bidang kajian ilmiah dalam
wacana pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial.
Visi ini mengandung dua dimensi, yakni :
(1) Dimensi substantif berupa muatan
pembelajaran(content and learning experiences) dan obyek telaah serta obyek
pengembangan.
(2) Dimensi proses berupa penelitian dan
pembelajaran (aspek epistemologi dan aksiologi).
Khusus dalam visinya sebagai bidang kajian
ilmiah pendidikan kewarganegaraan secara epistemologis merupakan synthetic
discipline (Somantri:1998) atau integrated knowledge system (Hartoonian:1992),
atau cross-disciplinary study (Hahn dan Torney-Purta:1999), atau kajian
multidimensional (Derricott dan Cogan:1998). Penulis menempatkan pendidikan
kewarganegaraan atau sistem pendidikan kewarganegaraan sebagai kajian
lintas-bidang keilmuan, yang secara substantif ditopang terutama oleh ilmu
politik dan ilmu-ilmu sosial, serta humaniora, dan secara pedagogis diterapkan
dalam dunia pendidikan persekolahan dan masyarakat. Secara filosofik tubuh
pengetahuan pendidikan kewarganegaran ini dilandasi oleh tilikan reconstructed
philosophy of education yang secara adaptif mengakomodasikan tilikan filsafat
pendidikan perennialism, essentialism, progressivism, dan recontructionism
(Brameld:1965). Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk kajian
lintas-bidang keilmuan ini pada dasarnya telah memenuhi kriteria dasar-formal
suatu disiplin (Dufty,1970 ; Somantri:1993) yakni mempunyai community of
scholars, a body of thinking, speaking, and writing; a method of approach to
knowledge dan mewadahi tujuan masyarakat dan warisan sistem nilai
(Somantri:1993). Ia merupakan suatu disiplin terapan yang bersifat
deskriptif-analitik, dan kebijakan-pedagogis. Jika dilihat dari pandangan Kuhn
(1970) secara paradigmatik, pendidikan kewarganegaraan baru memasuki
pre-paradigmatic phase atau proto science. Untuk dapat menggapai statusnya
sebagai normal science diperlukan berbagai penelitian dan pengembangan lebih
lanjut oleh anggota komunitas ilmiah “pendidikan kewarganegaraan” sehingga
dapat melewati proses artikulasi
sosialisasi-pengakuan-falsifikasi-validasi-pengakuan sebagai disiplin yang
matured.
4.3. Missi
Secara konseptual “pendidikan kewarganegaraan”
atau citizenship education merupakan bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin
ilmu sosial yang bersifat “lintas-bidang keilmuan” dengan intinya ilmu politik,
yang secara paradigmatik memiliki saling-keterpautan yang bersifat
komplementatif dengan pendidikan ilmu sosial secara keseluruhan
(Winataputra:1978, Barr dkk:1978, Welton dan Mallan:1988, NCSS:1985, 1994,
Somantri:1993). Dalam hal ini, bahwa (a) social studies berpijak terutama pada
konsep-konsep dan metode berpikir ilmu-ilmu sosial secara keseluruhan, sedang
citizenship education berpijak terutama pada ilmu politik dan sejarah; (b)
salah satu dimensi dari social studies adalah citizenship education (NCSS:1994,
CICED:1998), khususnya dalam upaya pengembangan intelligent social actor (Banks:1977,
NCSS:1994).Dalam konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan konsepsi
masyarakat madani sebagai tatanan ideal sosial-kulturalnya, maka pendidikan
kewarganegaraan mengemban missi: sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan
substantif-akademis.
Missi sosio-pedagogis adalah mengembangkan
potensi individu sebagai insan Tuhan dan makluk sosial menjadi warganegara
Indonesia yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius. Missi
sosio-kultural adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita, sistem kepercayaan/nilai,
konsep, prinsip, dan praksis demokrasi dalam koteks pembangunan masyarakat
madani Indonesia melalui pengembangan partisipasi warganegara secara cerdas dan
bertanggungjawab melalui berbagai kegiatan sosio-kultural secara kreatif yang
bermuara pada tumbuh dan berkembangnya komitmen moral dan sosial
kewarganegaraan. Sedangkan missi substantif-akademis adalah mengembangkan
struktur atau tubuh pengetahuan pendidikan kewarganegaraan, termasuk di
dalamnya konsep, prinsip, dan generalisasi mengenai dan yang berkenaan dengan
civic virtue atau kebajikan kewarganegaraan dan civic culture atau budaya
kewarganegaraan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (fungsi
epistemologis) dan memfasilitasi praksis sosio-pedagogis dan sosio-kultural
dengan hasil penelitian dan pengembangannya itu (fungsi aksiologis). Perwujudan
ketiga missi tersebut akan memfasilitasi pengembangan pendidikan
kewarganegaraan sebagai proto science menjadi disiplin baru dan dalam waktu
bersamaan secara sinergistik akan dapat meningkatkan kualitas isi dan proses
pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler pendidikan demokrasi dan
kegiatan sosio-kultural dalam koteks makro pendidikan nasional.
4.4. Strategi
Secara konseptual-paradigmatik citizenship
education saat ini mengembangkan strategi dasar learning democracy, in
democracy, and for democracy (CIVITAS International:1998; QCA:1999;
APCEC;2000). Kemudian strategi dasar ini oleh QCA(1999) dikonsepsikan sebagai
suatu kontinum education about citizenship—education through citizenship—education
for citizenship yang secara kualitatif bergerak dari titik Minimal (education
about citizenship) ke titik Maksimal (education for citizenship). Pendidikan
kewargnegaraan di Indonesia yang dalam konteks internasional (Kerr:1999) dikategorikan
kedalam kelompok citizenship education Asia-Afrika yang masih berada pada titik
Minimal yakni education about citizenship sudah seharusnya menggunakan strategi
progresif menuju titik Maksimal, yakni education for citizenship melalui titik
median education through citizenship. Untuk itu pendidikan kewarganegaraan
sebagai suatu academic endeavor (CICED:1999) atau sebagai bidang kajian dan
pengembangan pendidikan disiplin ilmu seyogyanya memusatkan perhatian pada
kajian ilmiah tentang civic virtue dan civic culture (Quigley:1991) atau
keberadaban dan budaya kewarganegaraan dalam konteks pengembangan civic
intelligence dan civic participation (Quigley:1991, Cogan:1999). Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai program kurikuler di sekolah atau luar sekolah/di perguruan
tinggi di Indonesia, kedudukannya sebagai mata pelajaran/mata kuliah yang
berdiri sendiri perlu terus dimantapkan di semua jenjang pendidikan, agar
proses education about citizenship terwadahi secara sistimatik dan berbobot.
Pertimbangan tersebut juga dimaksudkan
bahwa secara perlahan tetapi pasti, melalui pemantapan mata pelajaran/mata
kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan penciptaan kehidupan sosila-kultural
sekolah/ kampus yang demokratis, taat hukum, religius dan berkeadaban, dapat
dijalanai koridor sosial-kultural menuju proses education for citizenship
(konsep sekolah/kampus sebagai laboratory for democracy. Dengan cara itu, pada
saatnya nanti, para lulusan lembaga pendidikan formal mampu menampilkan dirinya
sebagai demokrat muda yang taat hukum, religius dan berkeadaban dalam berbagai
konteks kehidupan yang dijalaninya. Namun demikian khusus dalam konteks
pendidikan usia dini, yakni di taman kanak-kanak dan sekolah dasar kelas rendah
(1-3), karena perkembangan psikososial siswa yang berada pada tarap kognitif
concrete operation menuju formal-operation (Piaget:1960) dan moralita
pre-conventional morality yang didominasi oleh punishment and obedience
orientation meningkat ke good boy and nice girl orientation menuju instrumental
relativist orientation (Kohlberg:1975), yang memerlukan keterpaduan dan
kebermaknaan belajar dalam suasana yang otentik atau hands-on experience,
pendidikan kewarganegaraan dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain
yang relevan dengan pendekatan cross-curriculum, khususnya dalam pendidikan
IPS, Bahasa dan kesenian, seperti mata pelajaran Personal, Social, and Health
Education (PSHE) di sekolah dasar di UK, Life Orientation di Afrika Selatan dan
Social Studies di negara lainnya.Sebagai suatu bidang kajian pendidikan disiplin
ilmu, sebagaimana juga citizenship education, pendidikan kewarganegaraan
diyakini secara konseptual memiliki sifat multidimensional dalam aspek
ontologis-obyek telaahnya, aspek epistemologis-metode penelitian dan
pengembangannya, dan aspek aksiologis-kemanfaatannya bagi dunia pendidikan
(Cogan:1996, 1999, CICED:1999). Sifat-sifat itulah yang mengikat ketiga dimensi
pendidikan kewarganegaraan dalam suatu paradigma yang utuh. Oleh karena itulah
pendidikan kewarganegaraan dapat disikapi dan diterima sebagai suatu wahana
sistemik atau integrated knowledge system atau synthetic discipline dalam
tataran filosofik dan konseptual pendidikan disiplin ilmu. Jiwa dari paradigma
ini diharapkan lebih menitikberatkan pada kearifan intuitif yang beorientasi
eco-action dan bersifat responsif, konsolidatif, dan kooperatif daripada
kekuatan rasionalitas yang beorientasi ego-action dan bersifat agresif,
ekspansif, dan kompetitif (Capra:1998). Dalam rangka pengembangan sistem
pendidikan kewarganegaraan dirumuskan strategi: (1) penegasan kedudukan dan
hubungan fungsional-interaktif antar ketiga sub-sistem pendidikan
kewarganegaraan (kajian ilmiah, program kurikuler, dan kegiatan sosio-kultural)
dan peran interaktif terhadap kompetensi kewarganegaraan; (2) pemanfaatan secara
adaptif-fungsional dari sumber-sumber konseptual dan empirik di luar entitas
sistem pendidikan kewarganegaraan.
Sebagai suatu domain kajian pendidikan
ilmu, pendidikan kewarganegaraan memerlukan kelembagaan yang berfungsi sebagai
sarana institusional yang memfasilitasi pengembangan epistemologi dan
perwujudan aksiologi kedisiplinannya, dan komunitas ilmiah yang berperan
sebagai kelompok pemikir wacana akademisnya dan pengembang sarana
programatiknya. Oleh karena itu, kedudukan jurusan atau program studi Pendidikan
Kewarganegaraan di perguruan tinggi perlu dimantapkan bukan semata-mata sebagai
lembaga penghasil tenaga kependidikan kewarganegaraan, tetapi juga sebagai
penghasil dan pengembang aspek-aspek epistemologi, seperti nilai, konsep,
prinsip, dan metode serta aneka ragam program instruksional kewarganegaraan.
Dalam konnteks itu maka selain program profesional tingkat diploma dan S1, di
perguruan tinggi sudah saatnya mulai dikembangkan program akademik S2 dan S3
pendidikan kewarganegaraan.
4.5. Aspek Ontologis Pendidikan
Kewarganegaraan Pendidikan
Kewarganegaraan memiliki dua dimensi
ontologi, yakni obyek telaah dan obyek pengembangan. Yang dimaksud dengan obyek
telaah adalah keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praksis pendidikan
kewarganegaraan yang secara internal dan eksternal mendukung sistem kurikulum
dan pembelajaran PPKn di sekolah dan di luar sekolah, serta format gerakan
sosial-kutural kewarganegaraan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek
pengembangan adalah keseluruhan ranah sosio-psikologis peserta didik, yakni
ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik yang menyangkut status, hak,
dan kewajibannya sebagai warganegara, yang perlu dimuliakan dan dikembangkan
secara programatik guna mencapai kualitas warganegara yang “cerdas, dan baik,
dalam arti demokratis, religius, dan berkeadaban dalam konteks kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
4.6. Aspek Epistemologi Pendidikan
Kewarganegaraan
Aspek epistemologi pendidikan
kewarganegaraan berkaitan erat dengan aspek ontologi pendidikan
kewarganegaraan, karena memang proses epistemologis, yang pada dasarnya
berwujud dalam berbagai bentuk kegiatan sistematis dalam upaya membangun
pengetahuan bidang kajian ilmiah pendidikan kewarganegaraan sudah seharusnya
terkait pada obyek telaah dan obyek pengembangannya. Kegiatan epistemologis
pendidikan kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan metodologi
pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan pengetahuan
baru melalui: (1) metode penelitian kuantitatif yang menonjolkan proses
pengukuran dan generalisasi untuk mendukung proses konseptualisasi, dan (2)
metode penelitian kualitatif yang menonjolkan pemahaman holistik terhadap
fenomena alamiah untuk membangun suatu teori. Sedangkan, metodologi pengembangan
digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan rekayasa kurikuler yang
relevan guna mengembangkan aspek-aspek sosial-psikologis peserta didik, dengan
cara mengorganisasikan berbagai unsur instrumental dan kontekstual pendidikan.
Tercatat berbagai kegiatan epistemologis
penelitian, pengembangan, dan penelitian dan pengembangan. Yang khusus
merupakan kegiatan penelitian antara lain yang dilakukan oleh Capra (1998)
tentang titik balik peradaban; Sanusi (1998) tentang 10 pilar demokrasi
Indonesia; Bahmueller (1996) tentang perkembangan demokrasi; Welzer (1999)
tentang konsep civil society; Gandal dan Finn (1992) tentang education for
democracy; Barr, Bart, dan Shermis (1977) tentang konsep social studies;
Remmers dan Radles (1960 dalam Shaver 1991) tentang kesadaran politik dan hukum
peserta didik; Stanley (1985) tentang perkembangan social studies; Shaver
(1991) tentang penelitian dan pembelajaran social studies; Winataputra (1978)
tentang pelaksanaan kurikulum PMP, CERP (1972) tentang pemikiran mengenai
pendidikan IPS dan kewarganegaraan; Cogan (1996) tentang multidimensional
citizenship education, ETS (1991) tentang efektivitas program We the People …
The Citizens and Constitution; Tolo dkk (1998) tentang efektifitas program We
the People… Project Citizens; Djahiri dkk (1998) tentang profil kurikulum dan
pembelajaran PPKN 1994, dan CICED (1999 dan 2000) tentang konsep civic
education for civil society dan tentang the needs for new Indonesian civic
education”.
Yang bersifat pengembangan kurikulum dan
pembelajaran, tercatat antara lain yang dilakukan oleh: Wesley (1937 dalam Barr
dkk:1977) tentang definisi awal social studies; Engle (1960 dalam Somantri
1993) tentang decision making dalam social science instruction ; Hanna(1960)
tentang pengembangan social studies berdasarkan basic human activities ; Taba
dkk (1970) tentang pendekatan spiral of concept development dalam
socialstudies; NCSS (1983) tentang scope and sequence dalam social studies;
NCSS (1989) tentang paradigma social studies untuk abad 21; NCSS (1994) tentang
standards for social studies; Dunn (1915 dalam Somantri:1969) tentang new
civics ; CCE (1991) tentang dokumen akademis CIVITAS: A Framework for Civic
Education ; CCE (1997) tentang Paket Belajar We the People … The Citizens and
Constitution ; We the People… Project Citizen; Law in a Free Society Series;
Foundations of Democracy; CCE (1998) tentang Paket Belajar Exercise in
Participation. Sedangkan di Indonesia, yang termasuk kegiatan pengembangan
antara lain yang dilakukan oleh: PPSP IKIP Bandung (1973) tentang kurikulum
IPS/PKN, Depdikbud (1974) tentang kurikulum IPS dan PMP 1975, Depdikbud (1983)
tentang penyempurnaan kurikulum PMP, Depdikbud (1993) tentang kurikulum
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Depdikbud (1999) tentang pengembangan
suplemen dan petunjuk teknis PPKn untuk masa transisi; CICED (1999) tentang
civic education content mapping. Yang termasuk kegiatan penelitian dan
pengembangan antara lain yang dilakukan oleh: Bruner (1967) mengenai model
proyek pembelajaran Man: A Course of Study di Amerika Serikat; dan Stenhouse
(1975) mengenai humanities curriculum project di Inggris.
4.7. Aspek Aksiologi Pendidikan
Kewarganegaraan
Yang termasuk ke dalam aspek aksiologi
pendidikan kewarganegaraan adalah berbagai manfaat dari hasil penelitian dan
pengembangan dalam bidang kajianpendidikan kewarganegaraan yang telah dicapai,
bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan persekolahan dan pendidikan tenaga
kependidikan.Hasil-hasil penelitian dan pengembangan social studies, citizenship
education dan civic education” dalam dunia persekolahan banyak memberi manfaat
dalam merancang program pendidikan guru, meningkatkan kualitas kemampuan guru,
meningkatkan kualitas proses pembelajaran, meningkatkan kualitas sarana dan
sumber belajar, dan meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan.
5. Kesimpulan
(1) Pendidikan kewarganegaraan merupakan
suatu tubuh atau sistem pengetahuan yang memiliki: (a) ontologi civic behavior
dan civic culture yang bersifat multidimensional (filosofis, ilmiah, kurikuler,
dan sosial kultural); (b) epistemologi research, development, and diffusion
dalam bentuk kajian ilmiah dan pengembangan program kurikuler, prilaku dan
konteks sosial kultural warganegara, serta komunikasi akademis, kurikuler, dan
sosial dalam rangka penerapan hasil kajian ilmiah dan pengembangan kurikuler
dan instruksional dalam praksis pendidikan demokrasi untuk warganegara di
sekolah dan masyarakat; dan (c) aksiologi untuk memfasilitasi pengembangan body
of knowledge sistem pengetahuan atau disiplin pendidikan kewarganegaraan;
melandasi dan memfasilitasi pengembangan dan pelaksanaan pendidikan demokrasi
di sekolah dan luar sekolah; dan membingkai serta memfasilitasi berkembangnya
koridor proses demokratisasi secara sosial kultural dalam masyarakat.
(2) Secara paradigmatik sistem pendidikan
kewarganegaraan memiliki tiga komponen, yakni : (a) kajian ilmiah pendidikan
ilmu kewarganegaraan; (b) program kurikuler Pendidikan Kewarganegaraan; dan (c)
gerakan sosial-kultural kewarganegaraan, yang secara koheren bertolak dari
esensi dan bermuara pada upaya pengembangan pengetahuan kewarganegaraan, nilai
dan sikap kewarganegaraan, dan keterampilan kewarganegaraan.
(3) Secara kontekstual logika internal dan
dinamika eksternal sistem pendidikan kewarganegaraan dipengaruhi oleh
aspek-aspek pengetahuan intraseptif berupa Agama dan Pancasila; pengetahuan
ekstraseptif ilmu, teknologi, dan seni; cita-cita, Nilai, konsep, prinsip, dan
praksis demokrasi; masalah-masalah kontemporer Indonesia; kecenderungan dan masalah
globalisasi; dan kristalisasi civic virtue dan civic culture untuk masyarakat
madani Indonesia-masyarakat negara kebangsaan Indonesia yang berdemokrasi
konstitusional.
(4) Aspek esensial yang menjadi faktor
perekat (integrating forces) dari ketiga komponen sistem pendidikan
kewarganegaraan sehingga membentuk suatu kerangka paradigmatik yang koheren
adalah konsep warganegara yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan
religius yang dikristalisasikan menjadi 90 butir perangkat kompetensi kewarganegaraan
(pengetahuan kewarganegaraan, ahlak/sikap kewarganegaraan, dan keterampilan
kewarganegaraan) yang berkembang secara dinamis
Sumber :
http://mediaarqom.blogspot.com